Rabu, 27 Januari 2010


Etika Berkomunikasi Lewat Telepon
(Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)
1. Ceklah dengan baik nomor telepon yang akan anda hubungi sebelum anda menelpon agar anda tidak mengganggu orang yang sedang tidur atau mengganggu orang yang sedang sakit atau merisaukan orang lain.
2. Pilihlah waktu yang tepat untuk berhubungan via telepon, karena manusia mempunyai kesibukan dan keperluan, dan mereka juga mempunyai waktu tidur dan istirahat, waktu makan dan bekerja.
3. Jangan memperpanjang pembicaraan tanpa alasan, karena khawatir orang yang sedang dihubungi itu sedang mempunyai pekerjaan penting atau mempunyai janji dengan orang lain.
4. Hendaknya wanita tidak memperindah suara di saat ber-bicara (via telpon) dan tidak berbicara melantur dengan laki-laki. Allah berfirman yang artinya: “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (Al-Ahzab: 32).
5. Maka hendaknya wanita berhati-hati, jangan berbicara diluar kebiasaan dan tidak melantur berbicara dengan lawan jenisnya via telepon, apa lagi memperpanjang pembicaraan, memperindah suara, memperlembut dan lain sebagainya.
6. Hendaknya penelpon memulai pembicaraannya dengan ucapan Assalamu`alaikum, karena dia adalah orang yang datang, maka dari itu ia harus memulai pembicaraannya dengan salam dan juga menutupnya dengan salam.
7. Tidak memakai telpon orang lain kecuali seizin pemiliknya, dan itupun bila terpaksa.
8. Tidak merekam pembicaraan lawan bicara kecuali seizin darinya, apapun bentuk pembicaraannya. Karena hal tersebut merupakan tindakan pengkhianatan dan mengungkap rahasia orang lain, dan inilah tipu muslihat. Dan apabila rekaman itu kamu sebarluaskan maka itu berarti lebih fatal lagi dan merupakan penodaan terhadap amanah. Dan termasuk di dalam hal ini juga adalah merekam pembicaraan orang lain dan apa yang terjadi di antara mereka. Maka, ini haram hukumnya, tidak boleh dikerjakan!
9. Tidak menggunakan telepon untuk keperluan yang negatif, karena telepon pada hakikatnya adalah nikmat dari Allah yang Dia berikan kepada kita untuk kita gunakan demi memenuhi keperluan kita. Maka tidak selayaknya jika kita menjadikannya sebagai bencana, menggunakannya untuk mencari-cari kejelekan dan kesalahan orang lain dan mencemari kehormatan mereka, dan menyeret kaum wanita ke jurang kenistaan. Ini haram hukumnya, dan pelakunya layak dihukum.

Minggu, 24 Januari 2010


Etika Saat Makan Dan Minum
(Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)
1. Berupaya untuk mencari makanan yang halal. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini artinya adalah yang halal.
2. Hendaklah makan dan minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat beribadah kepada Allah, agar kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu.
3. Hendaknya mencuci tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga setelah makan untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu.
4. Hendaklah kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali mencelanya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia tinggalkan”. (Muttafaq’alaih).
5. Hendaknya jangan makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda; “Aku tidak makan sedangkan aku menyandar”. (HR. al-Bukhari). Dan di dalam haditsnya, Ibnu Umar Radhiallaahu anhu menuturkan: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah melarang dua tempat makan, yaitu duduk di meja tempat minum khamar dan makan sambil menyungkur”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
6. Tidak makan dan minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak. Di dalam hadits Hudzaifah Radhiallaahu anhu dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring yang terbuat darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk kita di akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih).
7. Hendaknya memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila seorang diantara kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhannahu wa Ta'ala dan jika lupa menyebut nama Allah Subhannahu wa Ta'ala pada awalnya maka hendaknya mengatakan : Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani). Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena Rasulullah Subhannahu wa Ta'ala bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat meridhai seorang hamba yang apabila telah makan suatu makanan ia memuji-Nya dan apabila minum minuman ia pun memuji-Nya”. (HR. Muslim).
8. Hendaknya makan dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu. Rasulllah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai anak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di depanmu. (Muttafaq’alaih).
9. Disunnatkan makan dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya. Diriwayatkan dari Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum mengelapnya”. (HR. Muslim).
10. Disunnatkan mengambil makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor darinya lalu memakannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila suapan makan seorang kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan membuang bagian yang kotor, lalu makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk syetan”. (HR. Muslim).
11. Tidak meniup makan yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu Abbas menuturkan “Bahwa-sanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang bernafas pada bejana minuman atau meniupnya”. (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
12. Tidak berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Tiada tempat yang yang lebih buruk yang dipenuhi oleh seseorang daripada perutnya, cukuplah bagi seseorang beberapa suap saja untuk menegakkan tulang punggungnya; jikapun terpaksa, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minu-mannya dan sepertiga lagi untuk bernafas”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
13. Hendaknya pemilik makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang sedang makan, namun seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal tersebut dapat menyakiti perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu.
14. Hendaknya kamu tidak memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada orang yang lebih berhak memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai kedudukan, karena hal tersebut bertentangan dengan etika.
15. Jangan sekali-kali kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik, seperti mengirapkan tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada tempat makanan di saat makan, atau berbicara dengan nada-nada yang mengandung makna kotor dan menjijik-kan.
16. Jangan minum langsung dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau berkata, “Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang minum dari bibir bejana wadah air.” (HR. Al Bukhari)Disunnatkan minum sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas disebutkan “Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang minum sambil berdiri”. (HR. Muslim).


Etika Saat Tidur dan Bangun Tidur
(HR. Al-Bukhari)(Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)
1. Berintrospeksi diri / muhasabah sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, mengevaluasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.
2. Tidur dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallaahu anha “Bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam tidur pada awal malam dan bangun pada pengujung malam, lalu beliau melakukan shalat”.(Muttafaq `alaih)
3. Disunnatkan berwudhu’ sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al-Bara’ bin `Azib Radhiallaahu anhu menuturkan : Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu’lah sebagaimana wudlu’ untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan...” Dan tidak mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya.
4. Disunnatkan pula mengibaskan sperei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya...” Di dalam satu riwayat dikatakan:”tiga kali”. (Muttafaq `alaih).
5. Makruh tidur tengkurap. Abu Dzar Radhiallaahu anhu menuturkan :”Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda :”Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka”. (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
6. Makruh tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya”. (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
7. Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir Radhiallaahu anhu diriwayatkan bahwa sesung-guhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Padamkanlah lampu di malam hari apa bila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman”. (Muttafaq’alaih).
8. Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut.
9. Membaca do`a-do`a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , seperti :اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ (رواه أبو داود وصححه الألباني ) ،Allahumma qinii 'adzabaka yauma tab'atsu 'ibadaka. “Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu”. Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani) Dan membaca:بِاسْمِكَ اَللَّهُمَّ أَمُوْتُ وَأَحْيَا (رواه البخاري )Bismika Allahumma amuutu wa ahyaa. “Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup.” (HR. Al Bukhari)
10. Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini :أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ ، وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّياَطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ (رواه أبو داود وحسنه الألباني )'Audzu bikalimaatillahit taammati, min ghodhobihi, wasyarri 'ibaadihi, wamin hamadzaatisy syayathiini wa an yah dluruuni." Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku”. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)
11. Hendaknya apabila bangun tidur membaca :اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ (رواه البخاري )"Alhamdulillaahilladzii ahyaana ba'da maa amaatanaa, wa ilaihin nusyuur". “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan.”

Etika Dalam Berdo'a


Etika Dalam Berdo'a
(Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)
1. Terlebih dahulu sebelum berdo`a hendaknya memuji kepada Allah kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah mendengar seorang lelaki sedang berdo`a di dalam shalatnya, namun ia tidak memuji kepada Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam maka Nabi bersabda kepadanya: “Kamu telah tergesa-gesa wahai orang yang sedang shalat. Apabila anda selesai shalat, lalu kamu duduk, maka memujilah kepada Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo`alah”. (HR. At-Turmudzi, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
2. Mengakui dosa-dosa, mengakui kekurangan (keteledoran diri) dan merendahkan diri, khusyu’, penuh harapan dan rasa takut kepada Allah di saat anda berdo`a. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera di dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu` kepada Kami”. (Al-Anbiya’: 90).
3. Berwudhu’ sebelum berdo`a, menghadap Kiblat dan mengangkat kedua tangan di saat berdo`a. Di dalam hadits Abu Musa Al-Asy`ari Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa setelah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam selesai melakukan perang Hunain :” Beliau minta air lalu berwudhu, kemudian mengangkat kedua tangannya; dan aku melihat putih kulit ketiak beliau”. (Muttafaq’alaih).
4. Benar-benar (meminta sangat) di dalam berdo`a dan berbulat tekad di dalam memohon. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Apabila kamu berdo`a kepada Allah, maka bersungguh-sungguhlah di dalam berdo`a, dan jangan ada seorang kamu yang mengatakan :Jika Engkau menghendaki, maka berilah aku”, karena sesungguhnya Allah itu tidak ada yang dapat memaksanya”. Dan di dalam satu riwayat disebutkan: “Akan tetapi hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam memohon dan membesarkan harapan, karena sesungguhnya Allah tidak merasa berat karena sesuatu yang Dia berikan”. (Muttafaq’alaih).
5. Menghindari do`a buruk terhadap diri sendiri, anak dan harta. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Jangan sekali-kali kamu mendo`akan buruk terhadap diri kamu dan juga terhadap anak-anak kamu dan pula terhadap harta kamu, karena khawatir do`a kamu bertepatan dengan waktu dimana Allah mengabulkan do`amu”. (HR. Muslim).
6. Merendahkan suara di saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Wahai sekalian manusia, kasihanilah diri kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berdo`a kepada yang tuli dan tidak pula ghaib, sesungguhnya kamu berdo`a (memohon) kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia selalu menyertai kamu”. (HR. Al-Bukhari).
7. Berkonsentrasi (penuh perhatian) di saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Berdo`alah kamu kepada Allah sedangkan kamu dalam keadaan yakin dikabulkan, dan ketahuilah bahwa sesung-guhnya Allah tidak mengabulkan do`a dari hati yang lalai”. (HR. At-Turmudzi dan dihasankan oleh Al-Albani).Tidak memaksa bersajak di dalam berdo`a. Ibnu Abbas pernah berkata kepada `Ikrimah: “Lihatlah sajak dari do`amu, lalu hindarilah ia, karena sesungguhnya aku memperhatikan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan para shahabatnya tidak melakukan hal tersebut”.(HR. Al-Bukhari).

Jumat, 08 Januari 2010

SEJARAH / AWAL MULA ADANYA ADZAN
oleh : Hasfri Margiyanto

Pada saat itu, umat ISLAM di kota Madinah rajin sholat jamaah di masjid.Karena belum adanya tanda pemberi tahu masuk waktu solat, banyak para sahabat nabi datang ke masjid terlalu awal dan harus menunggu lama untuk berjamaah atau bahkan tidak sedikit para sahabat yang datang telat ke masjid dan solat berjamaah sudah selesai.
Rosul dan para sahabat melihat hal ini sebagai masalah yang harus dipecahkan bersama, maka sehabis sholat Isya’ berjamaah mereka bermusyawarah untuk membuat / menyepakati tentang “perlunya tanda pemberi tahu waktu sholat sudah masuk”.
Ada beberapa usulan diutarakan para sahabat, antara lain:
1. Memukul lonceng.
Usulan ini ditolak Rosul karena mirip dengan orang nasrani mengumpulkan orang.
2. Memukul kentongan, bedug dan sejenisnya.
Usulan ini juga ditolak Rosul karena cara ini adalah cara nabi Musa AS.
3. Siang mengibarkan bendera, kalau malam menyalakan api unggun.
Pendapat ini juga ditolak Rosul karena mengumpulkan orang dengan cara menyalakan api sama dengan cara orang majusi.
Setelah 3 usulan ini tidak disetujui Rosul, para sahabat tidak mengeluarkan pendapat lagi.Rosul berkata “Mudah – mudahan ALLAH memberikan jalan yang terbaik”, setelah mendengar perkataan Rosul, mereka membubarkan diri.
Malam itu dua sahabat Rosul yaitu ABDULAH bin ZAID dan UMAR bin KHATAB berfikir keras untuk memecahkan masalah itu.Saat mereka berdua tertidur, mereka mendapat mimpi petunjuk dari ALLAH dengan mimpi yang sama, yaitu:
Bertemu dengan orang membawa lonceng dijalan.Dia berkata ”bolehkah lonceng ini saya beli untuk mengumpulkan umat ISLAM menunaikan sholat berjamaah?”Tapi orang itu(menurut cerita dia adalah malaikat jibril yang menyamar jadi manusia)mengajari lafal yang disebut adzan. (Seperti yang diceritakan ABDULAH bin ZAID kepada Rosul)
Dipagi harinya menjelang subuh, mimpi tersebut diceritakan Abdulah kepada Rosul lalu Rosul berkata “itu mimpi petunjuk dari ALLAH,jibril baru saja menemuiku”.
Rosul menyarankan segera menemui Bilal (orang yang terkenal mempunyai suara terbaik waktu itu) untuk mengumandangkan adzan dengan dituntun Abdulah.Umar yang masih tidur tiba – tiba terbangun segera menuju masjid dan serta merta marah – marah. Namun setelah dijelaskan Rosul, amarah Umar bisa diatasi.
KESIMPULAN : “KALIMAT ADZAN ADALAH SUARA TANDA WAKTU SHOLAT SUDAH TIBA, BUKAN UNTUK YANG LAIN”

Bayaran dari Mengajarkan Al Qur’an
oleh: Ustadz Sigit Pranowo, Lc.

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya upah yang paling benar kalian terima adalah Kitabullah.” (HR. Bukhori)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa jumhur ulama telah berdalil dengan hadits ini didalam membolehkan mengambil bayaran dari mengajarkan Al Qur’an.
Imam ash Shon’ani mengatakan bahwa Jumhur ulama, Malik dan Syafi’i membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an baik orang yang belajarnya adalah anak kecil atau orang dewasa seandainya hal itu dapat membantu si pengajar didalam penagajarannya berdasarkan hadits diatas. Hal ini diperkuat lagi dengan apa yang disebutkan didalam bab nikah dimana Rasulullah saw pernah memerintahkan seseorang untuk mengajarkan istrinya Al Qur’an sebagai mahar baginya. (Subul as Salam juz III hal 155)
Sementara itu sebagian ulama yang lainnya, seperti Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan al Hadawiyah tidak membolehkn pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab berkata,”Aku telah mengajarkan seseorang Al Qur’an kemudian dia menghadiahiku sebuah busur (panah). Maka aku pun mengungkapkan hal ini kepada Nabi saw dan beliau bersabda.”Apabila engkau mengambilnya berarti engkau telah mengambil sebuah busur dari neraka.” Lalu aku pun mengembalikannya.” (HR. Ibnu Majah, Abu daud)
Sementara itu para ulama belakangan pada umumnya membolehkan pengambilan upah dari mengajarkan Al Qur’an dikarenakan darurat yaitu kekhawatiran akan hilangnya Al Qur’an di tengah-tengah kaum muslimin terlebih lagi dengan terputusnya pemberian kaum muslimin kepada baitul mal sebagai lembaga penopang perekonomian umat yang mengakibatkan para guru Al Qur’an tidak lagi menyibukkan dirinya dengan mengajarkan Al Qur’an kepada umat karena tuntutan kebutuhan keluarga mereka.
Adapun apabila terjadi penentun sejumlah harga tertentu diawal (akad) sebagai bayaran atas pengajaran Al Qur’an yang dilakukannya maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Al Hasan al Bashri, Asy Sya’bi dan Ibnu Sirin membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an selama orang itu tidak mensyaratkannya. Mereka berdalil dengan hadits Ubadah bin ash Shomit yang telah mengajarkan Al Qur’an kepada seseorang dari Ahli Suffah kemudian orang itu menghadiahinya dengan sebuah busur (panah) maka Nabi saw bersabda,”Jika engkau menyukai busur dari neraka maka terimalah.”
Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan yang lainnya membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an meskipun orang itu menentukannya sebagai persyaratan.
Imam Nawawi mengemukakan dua jawaban yang diberikan oleh mereka yang membolehkan hal itu terhadap hadits Ubadah bin ash Shomit, yaitu :
1. Bahwa sanad hadits itu perlu dikomentari.
2. Hal itu adalah tabarru’ (sedekah) dari orang yang mengajarkannya Al Qur’an maka ia tidaklah memiliki hak sedikit pun kemudian orang itu memberikannya hadiah sebagai bayaran atasnya maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk mengambilnya, berbeda dengan orang yang berakad sewa dengannya sebelum pengajaran. (at Tibyan Fii Adab Hamlatil Qur’an hal 57)
Jika memang seorang pengajar atau lembaga pengajaran Al Qur’an harus menentukan sejumlah harga tertentu sebagai bayarannya maka hendaklah memperhatikan dua hal berikut :
1. Tetap menjaga keikhlasan didalam dirinya dan tidak menjadikan bayaran tersebut sebagai tujuannya dikarenakan hal itu akan menjadikan pengajarannya menjadi sia-sia disisi Allah swt. Syeikh Muhammad Mukhtar as Syinqithi dalam menjawab pertanyaan tentang hukum mengambil upah dalam mengajarkan ilmu-ilmu syar’iyah mengatakan,”…Imam Ibnu Jarir ath Thobari, Al Hafizh Ibnu Hajar dan selainnya berpendapat bahwa orang yang dengan ilmunya bertujuan akherat kemudian mendapatkan bayaran dari ilmunya disebabkan ketidakmapanan dalam mendapatkan rezeki maka hal ini tidaklah merusak keikhlasannya selama tujuannya adalah mengajarkan ilmu dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin. Maka tidaklah rusak keikhlasan seseorang dengan keberadaan bagian dari dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan yang shahih dari Al Qur’an dan Sunnah.” (www.islamweb.net)
2. Jangan sampai tujuan pengajaran Al Qur’an yaitu memberantas buta huruf Al Qur’an ditengah-tengah umat menjadi tidak tercapai dikarenakan ketidaksanggupan umat membayar harga yang ditawarkannya.
Bayaran dari Pembacaan Doa dan Al Qur’an
Seperti halnya mengajarkan Al Qur’an, menjadi imam dalam shalat maka membacakan doa didalam suatu acara adalah termasuk didalam amal-amal kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah swt maka dibolehkan baginya menerima upah yang diberikan oleh orang yang mengundangnya selama hal itu tidak menjadi tujuannya didalam melakukan amal tersebut.
Namun apabila orang itu sudah meniatkannya sejak awal untuk mendapatkan upah dari orang yang mengundangnya maka hal itu dapat menghapuskan pahalanya di sisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya amal perbuatan tergantung dari niat dan bagi setiap orang hanyalah apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhori Muslim)
Wallahu A’lam.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1430 H









Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by ArchiThings.Com - Modern Architecture Design